Hidup Sukses Tanpa Ijazah!
Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di
Jepang. Bagaimana bisa ?
Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini
sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat
dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya,
maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum
tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali
ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain !
Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal
dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000
(bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga
Rp 175.000). Saat
mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak
biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga
rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka
buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000.
Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
"Ucapan Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli
buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan
Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih
menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400
halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan
penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400
halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya
yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali,
maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang,
sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara
dari berbagai
latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai
jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan
terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp
95.000. Sebuah ide bagus !
Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa
Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi,
sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang
dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu
agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008.
Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan
seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya
otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang
lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006,
Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun
sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa,
sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal
kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa
sehari-hari puluhan tahun ke belakang.
Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip
tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar
sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan
sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang
otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak
terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata
sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.
Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang
berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip
keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan
karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya
seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di
dunia pun jarang yang seperti dia.
Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak
menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh
pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman
Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja
keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai.
Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak
pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu
tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja.
Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran
soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak
untuk membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran
timbul polemic tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan
ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16
tahun) berkesimpulan : orang
tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok
guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah.
Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat
hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas
bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat
itu telah empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita
dan puisi dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat
umurnya masih 14 tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri
dengan honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang pengarang
membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar
ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah.
Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya
menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa
guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak
membaca daripada dirinya.
"Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam bidang
sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di
sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal
huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan.
Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah
lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih
berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan
menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup
adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang
mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat
tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi ? Mereka akan
lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah pensiun atau setelah
meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang walaupun aku sudah
meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai
dengan berkerja keras, dengan mencipta karya yang bagus. Orang akan
tetap mengingat namaku kalau karya-karya yang kutulis bermutu" begitu
tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman 167-168.
Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat
kepada gurunya di atas kartu pos, "saya tidak jadi ikut ujian nasional
karena saya akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah" Luar
biasa keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu
orang tuanya di Jatiwangi.
Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa
Ajip bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar
biasa akan berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari
SMA, buku pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun,
berjudul "Tahun-Tahun Kematian" (kumpulan cerpen). Itu adalah buku
pertama yang mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku berikutnya
selama puluhan tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku baik kumpulan
cerpen, kumpulan puisi, roman, drama, penulisan kembali cerita rakyat,
cerita wayang, bacaan anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik,
polemik, memoar, bunga rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10
halaman daftar lengkap karya Ajip di buku otobiografi ini). Ajip
menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak
karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam
bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman,
Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.
Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan
sekitarnya. Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar
(1953-1955) saat Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi
pemimpin redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979),
dan Cupumanik (sejak 2005).
Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia
adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962
mendirikan Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin
Penerbit Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit
Pustaka Jaya dan menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit
Girimukti Pusaka, Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit
Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus
berjalan sampai Sekarang (Pustaka Jaya), ada juga yang telah lama
berhenti.
Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur
16 tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun
1956 menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981
menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada
tahun 1968 atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan
Penerbit Indonesia(IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan
Kebudayaan Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi karya-karya
sastra daerah dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun
1960-1962 dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan
bidang Sastra dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim
Nasional, tahun 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Pengembangan Buku Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota
Akademi Jakarta.
Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan
sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat
sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
di Bandung. Ajip pun sering diundang memberikan kuliah umum di
berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip
diangkat sebagai Visiting Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di
Osaka, Jepang. Ajip mengajar di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun
diangkat sebagai Gurubesar Luar Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri
Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar
Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar,
Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di
Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa Sunda
dan Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah
Air, dan tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah
didirikannya dari jauh.
Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di
berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya
mengenai kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa,
baik di tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional.
Sebagai orang yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta
sebagai anggota dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan bidang
sastra dan kesenian.
Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
maupun internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun
1969-1972 Ajip mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan
folklor Sunda. Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota
Foundation untuk meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan
Ensiklopedi Sunda (telah terbit pada tahun 2000). Tahun 1960-1994
meneliti puisi Sunda, dan hasilnya dituliskan dalam tiga jilid buku
dengan tabal total 1700 halaman (telah terbit dua jilid).
Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip
beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra
Nasional untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk
buku kumpulan cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 :
Hadiah Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda
terbaik, 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays
with Neck Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei,
2004 : Teeuw Award dari Belanda.
Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia
berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni
sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.
Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa
pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan
budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di
Indonesia maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk
meneliti sastra dan budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan
pandangan Ajip dengan tokoh2 seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis,
Taufik Ismail, Asrul Sani, Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan
masih banyak lagi bisa dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2
penting yang dialami Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana,
korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca
juga di sini. Ajip juga menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu
semua dan hal2 yang dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang,
sebagaimana layaknya sebuah otobiografi. Buku otobiografi setebal 1364
halaman ini adalah salah satu dari buku2 otobiografi paling tebal yang
pernah ditulis.
Kata seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan
yang tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio
Sastrowardojo (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).
"Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa buku ini
merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya sebagai orang yang
"kurang sekolah", tetapi berhasil mencapai prestasi internasional.
Tentu saja tuduhan itu sukar dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja
bagi orang berprestasi untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi
ini dicapai melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras.
Ajip sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan
perlu memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan
untuk mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman
dengan orang lain", begitu tulis Arief Budiman dari Melbourne, teman
karib Ajip, dalam kata pengantar otobiografi ini.
Satu hal yang sangat penting yang merupakan pesan Ajip melalui buku
ini adalah : meskipun pendidikan sangat penting, orang bisa juga
berhasil meskipun tidak atau kurang sekolahnya. Ajip telah membuktikan
kepada kita semua bahwa ia bisa hidup dan berhasil sampai punya
reputasi internasional bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga
perguruan tinggi di luar negeri meskipun tak punya gelar akademik apa
pun, bahkan ijazah SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa
ijazah.
"Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia mandeg
membaca dan gagap menulis" (Maman S. Mahayana dalam Panji Mas,
Februari 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar